Zakat
adalah salah satu dari lima rukun Islam, oleh karena itu zakat hukumnya
wajib. Selain mewajibkan zakat, Allah juga telah mengatur siapa saja
yang berhak menerima zakat. Menurut Al-Quran, ada delapan golongan yang
diperbolehkan menerima zakat seperti disebutkan dalam ayat berikut, yang
artinya:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang
miskin, (3) amil zakat, (4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5)
untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7)
untuk jalan Allah dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana” QS. At Taubah: 60
Allah
dengan tegas menyatakan dalam ayat tersebut bahwa zakat hanya diberikan
pada 8 golongan tersebut. Tidak ada ketentuan lain yang memperbolehkan
zakat diberikan kepada selain 8 golongan tersebut.
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin
Fakir
dan miskin adalah golongan masyarakat yang tidak dapat mencukupi
kebutuhan mereka dengan daya dan upayanya sendiri. Para ulama masih
berselisih pendapat tentang golongan mana yang lebih parah, apakah fakir
atau miskin. Ada yang menyebut fakir karena Allah mendahulukan menyebut
mereka dalam ayat tersebut, namun ulama lainnya menyebut bahwa miskin
lebih parah daripada fakir (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 312-313).
Batasan
orang dikatakan fakir dan miskin menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
adalah orang yang tidak memiliki harta dan usaha yang dapat mencukupi
kebutuhan dasarnya. Fakir adalah orang yang hanya bisa mencukupi kurang
dari separuh kebutuhannya, sedangkan miskin adalah orang yang bisa
mencukupi kebutuhannya lebih dari separuh, namun kurang dari seluruhnya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 313).
Misalnya seperti ini, seseorang memiliki penghasilan 500 rupiah setiap
bulan, namun kebutuhan dasar yang harus dia penuhi adalah 750 ribu
rupiah, maka ia termasuk dalam golongan miskin. Namun jika kebutuhannya
750 ribu rupiah sebulan dan pendapatannya hanya 250 ribu per bulan, maka
ia termasuk dalam golongan fakir. Untuk seorang yang tidak memiliki
pekerjaan, maka ia dianggap fakir.
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi dan menerima zakat
Orang
yang berkecukupan tidak boleh sekalipun diberi zakat ataupun
menerimanya. Hal ini disepakati oleh para ulama berdasarkan hadits yang
artinya:
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.” HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6: 351
Tolok
ukur kecukupan atau tidak seseorang adalah jika harta yang ia miliki
bisa mencukupi diri dan orang-orang yang ditanggungnya. Jika cukup, maka
haram zakat untuk dirinya. Standar kecukupan itu adalah kebutuhan
primer yakni makan, minum, tempat tinggal dan pakaian yang bisa ia
penuhi tanpa harus bersikap boros.
Zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah
Jika
seorang fakir dan miskin mampu memenuhi kebutuhan serta orang yang ia
tanggung secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh menyentuh
zakat. Hal ini digunakan sebagai patokan dalam pengambilan keputusan
jika ada beberapa orang yang masuk dalam kategori fakir dan miskin,
namun ingin dicari mana yang lebih berhak mendapatkan zakat. Hal ini
sesuai dengan hadits, yang artinya:
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.” HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6: 351
Kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin
Besaran
zakat yang diberikan kepada fakir miskin adalah sebesar kebutuhannya
dan orang yang ia tanggung dalam satu tahun dan tidak boleh lebih
daripada itu. Yang menjadi patokan disini adalah bahwa zakat dikeluarkan
setiap satu tahun sekali. Jika seorang fakir miskin memiliki harta yang
bisa mencukupi kebutuhan keluarganya kurang dari satu tahun, maka ia
diberikan zakat untuk mencukupi kekurangan dalam setahun tersebut (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 316-317).
Golongan ketiga : Amil zakat
Setelah
sebelumnya kita telah membahas golongan pertama dan kedua saudara kita
yang boleh menerima zakat yakni Fakir dan Miskin. Mari kita membahas
golongan yang ketiga, yakni Amil Zakat. Amil zakat diperbolehkan
menerima zakat dikarenakan itu sebagai upah terhadap pekerjaan yang
dilakukannya. Mengenai amil zakat disebutkan dalam sebuah hadits yang
artinya sebagai berikut:
“Tidak halal
zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang
berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit
hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang
memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat,
lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” HR. Abu Daud no. 1635
Ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa imam (penguasa) bisa
memberikan amil zakat upah yang jelas, boleh dilihat dari lama
pekerjaannya atau berat ringannya pekerjaan yang dilakukan. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 319-320)
Yang disebut Amil Zakat
Menurut
Saudi Sabiq ra. amil zakat adalah orang yang diangkat oleh penguasa
atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang
kaya, menjaga harta zakat, mengelola zakat, juru tulis dan semua orang
yang bekerja di kantor amil zakat yang berhubungan dengan zakat secara
langsung.” (Fiqh Sunnah, 1: 353)
Sedangkan
menurut ‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi, amil zakat adalah para petugas yang
dikirim penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang yang wajib zakat.
Termasuk pula amil zakat adalah mereka yang menjaga harta zakat, membagi
dan mendistribusikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Mereka
boleh diberi zakat meskipun mereka adalah orang kaya. (Tamamul Minnah, 2: 290)
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berpendapat bahwa orang biasa yang
menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakat bukan
merupakan amil zakat. Oleh karena itu mereka tidak berhak untuk
mendapatkan harta sedikitpun karena status mereka tersebut. Jika mereka
dengan ikhlas mendistribusikan zakat kepada orang yang berhak
menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan, maka ia turut
mendapatkan pahala. Akan tetapi jika ia meminta upah, maka orang yang
berzakat berkewajiban memberikan upah dengan hartanya yang lain, bukan
dari zakat yang dibagikan tersebut. (Majalis Syahri Ramadhan, hal 163-164)
Kesimpulan siapa amil zakat dan berapa upahnya
Berdasarkan
paparan diatas, maka jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut amil zakat
adalah diangkat dan diberikan kuasa oleh penguasa muslim untuk
mengambil zakat dan mendistribusikan zakat. Panitia zakat yang ada di
berbagai masjid dan orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah
amil zakat, kecuali mereka telah mendapatkan pengakuan dan otoritas dari
penguasa atau wakil penguasa muslim yang ada di sekitarnya. Hal ini
dikarenakan amil adalah pekerjaan yang dipekerjakan oleh orang tertentu,
dalam hal ini penguasa dan ia mendapatkan upah sebagaimana hasil
kerjanya yang diambilkan dari zakat yang terkumpul (Syarhul Mumti’, 6: 226). Otoritas ini diberikan karena amil memiliki kewajiban mengambil zakat secara paksa dari orang yang menolak membayar zakat.
Golongan keempat: muallafatu qulubuhum (orang yang ingin dilembutkan hatinya)
Golongan
ini adalah golongan orang yang mungkin bisa lembut hatinya jika diberi
zakat. Golongan ini bisa merupakan sesama muslim atau orang-orang selain
kaum muslimin.
Jika dari seorang
muslim, contohnya adalah mereka yang lemah imannya dengan maksud diberi
zakat untuk menguatkan imannya. Syaikh Muhammad bin Sholah Al ‘Utsaimin
menjelaskan bahwa yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang
ketika diberi zakat diharapkan akan imannya semakin kuat sehingga tidak
lagi meremehkan shalat, lalai akan zakat dan tidak mengerjakan puasa dan
kewajiban yang lainnya (Syarhul Mumti’, 6: 227). Jika ada
pemimpin suatu kaum yang masuk Islam, maka ia diberi zakat dengan
harapan supaya orang-orang yang ia pimpin tertarik untuk masuk Islam.
Jika
dari kalangan selain umat muslim adalah pada orang-orang yang tertarik
kepada Islam. Mereka menjadi kawan orang Islam dan tidak memusuhi.
Mereka diberi zakat supaya condong untuk masuk kepada agama Islam.
Selain itu orang kafir yang ditakutkan bahayanya, diberikan zakat supaya
ia menahan diri dari mengganggu kaum muslimin (Al Mughni, 7: 319).
Sedangkan bagi mereka yang sudah lama masuk Islam, sudah bagus dan
mantap Islamnya adalah tidak berhak mendapatkan zakat karena ia tidak
termasuk golongan ini. Namun golongan ini juga dapat menjadi penentu
keputusan jika ada dua orang atau lebih yang fakir dan miskin, untuk
menentukan siapa yang lebih berhak mendapatkan zakat diantara mereka.
Golongan kelima: pembebasan budak
Pembebasan budak yang dimaksudkan disini adalah:
- Pembebasan budak mukatab, yaitu budak yang berjanji pada tuannya ingin memerdekakan diri dengan dengan syarat melunasi pembayaran tertentu.
- Pembebasan budak muslim.
- Pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 320)
Contoh
untuk pembayaran zakat untuk membebaskan budak mukatab adalah jika
seorang budak berjanji pada tuannya ia boleh dimerdekakan dengan
membayar 25 juta rupiah. Enam bulan pertama ia menjanjikan membayarkan
15 juta dan enam bulan berikutnya ia membayar 10 juta rupiah. Maka ia
harus diberi zakat dengan jumlah yang sama persis dengan janjinya kepada
tuannya. Mengenai cara pembayarannya bisa diberikan kepada budak
tersebut dan kemudian diberikan pada tuannya atau langsung diberikan
kepada tuannya. Hal ini berbeda dengan fakir dan miskin. Sedangkan
antara
Golongan penerima zakat keenam: orang yang dililit utang
Orang-orang yang terlilit utang hingga hartanya tidak cukup digunakan untuk membayar hutang tersebut berhak menerima zakat. Namun ada syarat orang terlilit hutang boleh menerima zakat, yaitu:Orang yang terlilit utang karena kemaslahatan dirinya berhak mendapatkan zakat. Dalam golongan orang yang ini, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantara lain:
- Yang berhutang adalah seorang muslim.
- Bukan termasuk ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW).
- Tidak dengan sengaja berhutang untuk mendapatkan zakat.
- Hutangnya bukan dalam rangka maksiat seperti minuman keras, berjudi atau berzina, kecuali dia bertaubat sebelum masa penerimaan zakat.
- Uang tersebut harus segera digunakan sebagai pelunasan atas hutangnya tersebut.
- Tidak memiliki harta apa-apa lagi yang bisa digunakan untuk membayar hutang.
“Sesungguhnya minta-minta (mengemis) itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).” HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5: 60
Yang ketiga adalah orang yang berhutang karena sebab sebagai dhomin atau penanggung jaminan utang orang lain. Orang yang berhutang tidak dapat membayar hutang karena kesulitan dan si penjamin juga tidak mampu membayar utang orang yang dijaminnya. Syarat boleh menerima zakat yaitu keduanya benar-benar tidak mampu melunasi utang.
Contoh penyaluran zakat pada orang yang terlilit utang sudah disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dengan misalnya sebagai berikut:
- Seseorang dengan gaji 5 juta per bulan memiliki hutang 25 juta, sedangkan kebutuhannya sama persis dengan gajinya, maka orang tersebut tetap diberikan zakat karena tidak ada sisa uang untuk membayar hutang.
- Ia diberikan zakat untuk melunasi hutangnya, bukan mencukupi kebutuhannya. Ia diberikan zakat karena karena dalam hal hutang piutang ia dianggap fakir. (Syarhul Mumti’, 6: 234)
Golongan penerima zakat ketujuh : orang yang berada di jalan Allah
Yang termasuk dalam golongan orang yang berada di jalan Allah dapat dibedakan menjadi dua jenis ini:Orang yang berperang di jalan Allah
Untuk digunakan sebagai biaya atau kemaslahatan perang
Ada yang kemudian bertanya, apa zakat boleh diberikan kepada orang yang menunaikan haji. Beberapa berpendapat bahwa dalam masalah ini diperbolehkan karena haji dan umroh termasuk dalam “fii sabilillah”, pendapat ini diajukan oleh ulama Hambali. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan bahwa boleh disalurkan untuk umroh dan haji yang sunnah. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak boleh disalurkan kepada orang yang berhaji karena tidak ada kewajiban berhaji bagi orang yang fakir. (Syarhul Mumti’, 6: 243)
Golongan penerima zakat kedelapan : orang yang kehabisan bekal di perjalanan
Golongan terakhir orang yang boleh menerima zakat seperti yang diperintahkan oleh Allah adalah ibnu sabil atau orang yang kehabisan bekal. Yang dimaksud adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke daerah tempat tinggalnya. Ia diberikan zakat supaya digunakan untuk kembali ke daerahnya. Namun ada syarat-syarat yang mengikat ibnu sabil untuk mendapatkan zakat. Syarat itu adalah:- Muslim dan tidak termasuk dalam ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad SAW)
- Tidak memiliki harta apapun yang dapat mencukupi biaya untuk kembali ke tempat asalnya, meskipun di negerinya ia termasuk orang kaya.
- Perjalanan yang dilakukan bukanlah perjalanan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 323-324)
0 komentar:
Posting Komentar