Riba
dalam utang piutang bisa digolongkan dalam riba nasi’ah. Riba al-qardh
adalah kelebihan dalam pengembalian utang. Sebagai contoh adalah jika
seseorang meminjamkan uang sebanyak seratus ribu rupiah, lalu
disyaratkan untuk dikembalikan sebesar seratus sepuluh ribu rupiah. Itu
hanya salah satu contohnya, namun yang disebut keuntungan tidak selalu
berupa materi, namun bisa berupa jasa. Pada hakekatnya ini adalah riba,
bukan utang piutang. Yang disebut memberikan hutang adalah dalam rangka
tolong menolong dan berbuat baik. Jika bentuk utang piutang yang di
dalamnya ada keuntungan, itu sama saja seperti menukar uang dengan uang
dengan tambahan keuntungan yang tertunda. (Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)
Para ulama telah bersepakat dalam sebuah kaidah yang harus diperhatikan dalam utang piutang yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap
piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah
riba.” (Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in,
3/65; Subulus Salam, 4/97)
Alasan dilarangnya mengambil keuntungan dalam utang piutang
Dalam
Al Mughni 9/104, Ibnu Qudamah mengatakan bahwa, “Karena yang namanya
utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika
dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah
keluar dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).”
Hal
ini juga idtegaskan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i dalam Al
Muhadzdzab, 2/ 81 yang mengatakan bahwa, “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab,
Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, mereka semua melarang
piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan. Alasannya, karena utang
piutang adalah untuk tolong menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan
adanya keuntungan, maka akad utang piutang berarti telah keluar dari
tujuannya (yaitu untuk tolong menolong).”
Selain
itu, ada sebuah hadits yang dapat dimaknai sebagai larangan terhadap
utang piutang yang disertai dengan pengambilan keuntungan. Dalam hal
ini, Rasulullah bersabda, yang artinya:
“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i
Dalam riwayat yang lain, ada yang mengatakan sebagai berikut:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan dalam satu akad.” HR. Tirmidzi dan An Nasaa’i
Ada
yang mengatakan bahwa keadaan memberikan tambahan dalam pengembalian
utang yang sudah disyaratkan adalah karena keridhaan bersama, lalu
kenapa mesti dilarang. Dalam hal ini, ada dua sanggahan yang dapat
diberikan.
Yang pertama, masih dapat
dikategorikan suatu kezholiman karena tambahan pengembalian utang
tersebut didapatkan dari jalur yang tidak dibenarkan oleh Allah. Jika
seseorang berhutang dan telah masuk jatuh tempo namun belum mampu
melunasi utangnya, maka seharusnya yang memberikan utang memberi
tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena penundaan tersebut.
Jika orang yang mengutangi mengambil tambahan tersebut meskipun yang
memberikannya mengaku ridho, tetap saja ia mengambil harta orang lain
melalui jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah.
Yang
kedua, pada hakekatnya ini bukanlah ridho karena orang yang berhutang
tidak dalam kondisi yang bisa menawar. Jika ia tidak menyanggupi
memberikan tambahan, maka ia tidak akan mendapatkan pinjaman. Sepertinya
ridho, tapi sebenarnya bukan ridho.
0 komentar:
Posting Komentar